Rabu, 20 Februari 2013

sepatu-sepatu rajut lucuuuu

hobi nge-craft umi kayany berlabuh pada sepatu-sepatu lucu buat bayi. soale bikinnya cepat, daaan bebas tabaruj, hehe alesan emang dasar pemalas aja kaleeee. ini beberapa sepatu yang baru jadi.




love them....

ayam masak santan kecap

Kebetulan masih ada ssisa ayam di kulkas abis bikin bento buat temen2nya ayis kemaren. yowe, hari ini pengen di bakar ajalah atas rikues atok.



resep

bawang merah
bawang putih
jahe
lengkuas
sereh
maerica 
ketumbar
santan kental
kecap


Minggu, 10 Februari 2013

Atoook o atoook...... Si Vokalis nan Humoris


Anda penggemar serial Ipin Upin? Tau dong kalo mereka suka manggil "Atoook O Atoook" ke tetangga mereka, yang bernama Tok Dalang Ranggi. Adegan itu selalu ngingetin saya ke ayah saya, yang kebetulan punya 2 cucu lelaki yang selalu sama-sama mirip Ipin Upin, dan kebetulan juga dipanggil Atok ( Datok) oleh mereka.

Atok ini unik loh. Setidaknya menurut kami, anak- anaknya. Termasuk orang yang ceria dan suka becanda. Kalo keluarga besar kebetulan ngumpul, pasti ada aja jokenya yang bikin segar suasana. Andalannya biasanya cerita masa kecilnya dan saudara-saudaranya. Contohnya sambil niruin seorang bibi ( tante) saya yang waktu itu masih SD saat membaca di depan kelas dengan huruf S yang cadel. " air ini derats tsekali... Batu di dalamnya betsar betsar......." ampe hapal loh bacaannya dari kejadian berpuluh tahun yang lalu. Ckckck. Nah baru- baru ini saya sempat bingung dibuatnya, saat Atok tiba-tiba keluar terburu-buru dari rumah. Ternyata oh ternyata...buru-buru mau ngumpetin sepeda cucu ponakannya yang lagi diparkir di halaman. Alhasil, anak tadi nangis sesunggukan dikira sepedanya ilang.

Salah satu momen terbaik bersamanya adalah saat listrik mati di saat malam. Biasanya saya dan keluarga pada ngumpul dekat sumber penerangan. Nah saat itulah yaa Atok mulai beraksi, mengeluarkan semua koleksi cerita horornya, dan beneran deh, saya kadang jadi ga berani tidur sendiri saat itu. Kalo listik padamnya lamaan dikit? Mulai deh bikin kuis " aneh", kuis tebak lagu. Lagunya? Yaaa lagu ABG dooong, Angkatan Babe Gue. Bayangin, saya, ayuk, dan adek yang saat itu masih SD dipaksa nebak judul lagunya Panbers, D' loyd, Koes Ploes, sampe Broery Marantika. Eh, tapi ya lama-lama saya hapal juga ampe. Hihi.

Kalo soal hobi, lupakan hobi berkebun, olahraga, atau hobi menyehatkan lainnya. Hobinya adalah menyumbangkan suara. Deuuuh kaya ga ada uang receh aja ya buat disumbangin. Pokonya jangan deket-deket ama alat musik deh, pasti nunggu giliran nyanyi. Kalo kebetulan kondangan bareng, jangan harap bisa pulang cepet. Bersabarlah menunggu nama Atok dipanggil buat menyumbangkan suara. Weleh weleh. Eh, jangan salah loooh konsernya udah merambah ke Tanah Jawa, setidaknya waktu acara ngunduh mantu saya di Madiun. Hehe. Mertua saya ampe takjub, mereka aja ga berani nyanyi di pestanya sendiri, eh si besan malah bikin konser kecil * tutupmuka.

Lain lagi kalo lagi jalan bareng, Atok yang nyupir,kayanya saya pikir mobil keluarga ini tidak perlulah punya pemutar CD, toh supirnya kadang merangkap tape kok. Beruntng kalo lagu yang lagi diputar sesuai maunya, jadi nyanyinya bisa ngikutin lagu, nah kalo sebel ama lagi yang lagi diputar (contohnya lagu Anang Ashanty tu) bersiaplah mendengarkan hiburan dobel, lagu dari CD dan lagu dari mulut Atok, brisik deh pokonya. Tapi sebagai penumpang, kita pasrah ajalah, soalnya tiga wanita dewasa di keluarga ini kayanya ga bakat temenan sama mesin, entah itu motor atau mobil, cuma bisa temenan akrab ama mesin jahit kaleee (kecuali saya, cuma bisa temenan ama blender deh ) Sedangkan para lelaki mencari rezeki di kota lain.

Eh, jangan suka gangguin cucu-cucunya yaaa, soalnya doi sayang banget. Ga pernah telat tuh nganter jemput cucu-cucunya dari sekolah. Biasaaa abis pensiun ini profesinya emang travelling, anter jemput keluarga kemana-mana. Atok suka gregetan banget kalo giliran si Uncu (adek saya ), kalo pas giliran libur 10 harinya, jemput para cucu, suka telaaaat, dengan sigap si Atok mengeluarkan mobil dan caoooo pergi jemput mereka, awas ya kau Ncuuuu.

Selain cerita di atas, Atok juga orang yang sangat berdedikasi pada pekerjaannya. Setelah bertugas lebih dari 30 tahun di sebuah BUMN, akhirnya beliau pensiun, tapi di masa kerjanya sering sekali menjadi andalan kantor membereskan kekacauan di unit yang ada. Sayang karna cuma lulusan SMEa dan sama skali ga mau kuliah lagi dan menolak mutasi berkali-kali demi karirnya, karirnya di sana mentok aja dari dulu. It' s okelaaah saya tetap bangga deh pokonya.

Selama ini biasanya selalu gembar-gembor cerita soal seorang Ibu. Tapi cobalah ingat lagi perjuangan ayah kita, sebagai kepala keluarga, mereka juga berhak loh dikenang sebagai manusia hebat.

Atok Sukirman
20 Januari 1959

Dua Lelaki



Lelaki pertama. Saya pertama bertemu dengannya saat harus menginap di sebuah Rumah Sakit. Konon kabarnya saat masih bayi, ia sering sakit-sakitan, selalu tidak ketinggalan demam setiap bulannya. Ternyata dokter memvonis ada gejala femosis pada saluran pipisnya. Solusinya adalah dikhitan, ya kado di tahun pertama dari orang tuanya adalah khitan. Di bawah dua tahun, termasuk anak yang susah sekali makan, melakukan gerakan tutup mulut adalah hal yang biasa pada saat makan. Hingga saat ibunya mulai menyukai kegiatan di dapur mengolah kue dan makanan kudapan lainnya, ternyata nafsu makannya mulai timbul. Hingga sekarang terlihat selalu saja mencari cemilan untuk dimakan, dan mulai berteman akrab dengan nasi dan lauk pauk. Hingga usia tiga tahun, kemampuan verbalnya ternyata tidak secepat anak lainnya, ternyata alasannya adalah kurangnya bergauk dengan anak sebayanya, kini rasanya susah menghentikannya jika sedang semangat berbicara. Perawakannya sedang-sedang saja, tidak kurus dan tidak pula gemuk. Pembawaannya kalem, mungkin mewarisi sifat bapaknya. Tapi yang pasti semua keluarga menyayanginya.

Lelaki kedua. Saya pertama bertemu dengannya saat menginap di rumah seorang sahabat. Sekitar dua tahun setelah itu, ia melamar seorang gadis. Konon kabarnya gadisnya dari pulau seberang, lamaran pun sempat tertunda karena perjalanan terhambat banjir besar Jakarta di tahun 2007. Tahun-tahun pertama pernikahan perbedaan budaya masih cukup menjadi kendala. Baginya istrinya seperti berteriak jika sedang bicara, padahal menurut istrinya yang keturunan Sumatra, nada bicaranya masih dalam tahap biasa. Ia juga selalu berusaha menyempatkan sholat lima waktu di mesjid. Bahkan beberapa kali pulang kantor dengan memakai sendal butut karena sepatu yang baru beberapa bulan dibeli hilang di mesjid saat ia mampir untuk sholat magrib. Perawakannya kurus walaupun memakai baju yang seukuran dengan mertuanya yang gemuk. Pembawaannya kalem dan sabar, mungkin mewarisi sifat bapaknya. Tapi yang pasti ia sangat menyayangi keluarganya.

Lelaki pertama, anak lelaki pertama, Alharits (14 Februari)
Lelaki kedua, suami tercinta, Wahid Khoirul (28 Februari)

Dua Lelaki



Lelaki pertama. Saya pertama bertemu dengannya saat harus menginap di sebuah Rumah Sakit. Konon kabarnya saat masih bayi, ia sering sakit-sakitan, selalu tidak ketinggalan demam setiap bulannya. Ternyata dokter memvonis ada gejala femosis pada saluran pipisnya. Solusinya adalah dikhitan, ya kado di tahun pertama dari orang tuanya adalah khitan. Di bawah dua tahun, termasuk anak yang susah sekali makan, melakukan gerakan tutup mulut adalah hal yang biasa pada saat makan. Hingga saat ibunya mulai menyukai kegiatan di dapur mengolah kue dan makanan kudapan lainnya, ternyata nafsu makannya mulai timbul. Hingga sekarang terlihat selalu saja mencari cemilan untuk dimakan, dan mulai berteman akrab dengan nasi dan lauk pauk. Hingga usia tiga tahun, kemampuan verbalnya ternyata tidak secepat anak lainnya, ternyata alasannya adalah kurangnya bergauk dengan anak sebayanya, kini rasanya susah menghentikannya jika sedang semangat berbicara. Perawakannya sedang-sedang saja, tidak kurus dan tidak pula gemuk. Pembawaannya kalem, mungkin mewarisi sifat bapaknya. Tapi yang pasti semua keluarga menyayanginya.

Lelaki kedua. Saya pertama bertemu dengannya saat menginap di rumah seorang sahabat. Sekitar dua tahun setelah itu, ia melamar seorang gadis. Konon kabarnya gadisnya dari pulau seberang, lamaran pun sempat tertunda karena perjalanan terhambat banjir besar Jakarta di tahun 2007. Tahun-tahun pertama pernikahan perbedaan budaya masih cukup menjadi kendala. Baginya istrinya seperti berteriak jika sedang bicara, padahal menurut istrinya yang keturunan Sumatra, nada bicaranya masih dalam tahap biasa. Ia juga selalu berusaha menyempatkan sholat lima waktu di mesjid. Bahkan beberapa kali pulang kantor dengan memakai sendal butut karena sepatu yang baru beberapa bulan dibeli hilang di mesjid saat ia mampir untuk sholat magrib. Perawakannya kurus walaupun memakai baju yang seukuran dengan mertuanya yang gemuk. Pembawaannya kalem dan sabar, mungkin mewarisi sifat bapaknya. Tapi yang pasti ia sangat menyayangi keluarganya.

Lelaki pertama, anak lelaki pertama, Alharits (14 Februari)
Lelaki kedua, suami tercinta, Wahid Khoirul (28 Februari)

Menjadi Orang Tua (2)

Pencarian Sekolah Bagi yang Tersayang

Memasuki usia tiga tahun, saya merasakan bahwa secara sosial Mas Ayis rasanya kok tidak seperti anak lainnya ya. Jika di rumah memang dia termasuk banyak bicara, tetapi kalo sudah ngumpul dengan teman sebayanya mulai deh kliatan agak menarik diri. Setelah saya telaah lagi mungkin alasannya karena saya termasuk jarang keluar rumah, dan bergaul dengan tetangga. Istilah halusnya kuper kali ya, hee maap, soalnya sejak pindah ke rumah baru saya memang tidak terlalu suka "nangga". Padahal kalo dipikir lagi waktu jaman ngekost saya termasuk yang ga betah di kamar. Jangan harap menemukan saya di kamar, caranya ambil spot di tengah kost an dan mulailah meneriakkan nama saya, niscaya saya akan muncul entah dari kamar mana. Waktu sempat ngontrak deket-deket kost an juga saya termasuk rajin main ke tetangga, karena termasuk sudah saya kenal cukup lama sejak masih jadi mahasiswa. Kembali lagi ke Mas Ayis, ke 'kuper'annya ini membuat saya dan suami memutuskan untuk mulai menyekolahkannya saja.

Pencarian sekolah pun dimulai. Sekolah idamannya tentu yang bagus secara visi, misi, kurikulum, dan fasilitas,tetapi teteuuup aman di kantong. Ngimpi kali yeee. Pernah saya mampir ke sebuah sekolah di bilangan Ciganjur. Wuih bagus deh, dari namanya terlihat islami, tetapi setelah saya tanyakan lebih lanjut ternyata sekolah umum. Fasilitasnya bagus, ada kolam renangnya segala, jadi jangan heran yaa kalo SPP sebulannya hampir sebesar SPP kuliah di UI satu semester. Uang masuknya yaaa mungkin setara jumlah uang SPP saya selama kuliah deh. Lebih malah. Saya mikirnya malah bagaimana caranya saya gaul ama emak-emak disini ya? Sambil nglirik para Ibu yang lagi nungguin anaknya dengan dandanan yang....... Yaaa gitu deh. Ciamik!

Setelah itu, saya dan suami lebih banyak mencari informasi lewat internet. Akhirnya suami mendapatkan sekolah idamannya, dari gambar di situsnya sih kayanya menarik secara fisik. Tetapi bagi suami saya sih visi misinya ni sekolah yang bikin dia jatuh cinta banget. Akhirnya diputuskanlah melihat sekolah ini secara langsung. Awalnya saya rada desperate juga sih, ternyata sekolahnya jauh booo, di Pejaten sana. Lah sedangkan rumah kita di Tanah Baru Depok. Tetapi setelah melihat sekolahnya, ngobrol banyak dengan kepala sekolahnya, dan diskusi panjaaaaaang dengan suami termasuk mengenai tugas " berat" saya antar-jemputnya, akhirnya diputuskanlah bahwa Ayis akan disekolahkan di sana. Uang perbulannya sih masih standar ya, apalagi untuk ukuran sekolah di Jakarta. Dan mulailah Mas Ayis mengenal dunia sekolah.....

Jadi skenarionya begini, kami, saya, suami, dan Mas Ayis pergi bareng sekitar jam 7 pagi. Rutenya lewat Ciganjur, dan kami diturunkan di daerah mall Cilandak, atau setidaknya sampai perempatan Trakindo, dari sana suami belok kiri ke arah kantornya di dekat RS Fatmawati dan kami melanjutkan naik angkot ke Pasar Minggu. Lama perjalanan kurang lebih satu setengah jam. Nah kendalanya ya bagi saya ni, karena buang waktu bagi saya rasanya kalo setelah mengantar saya harus balik ke depok lagi dan kembali lagi ntuk menjemput. Akhirnya saya harus menunggu sampai Mas Ayis selesai sekitar pukul dua belas siang. Kebayang dong dari jam 8 pagi sampai 12 siang itu saya musti ngapain aja? Duuuuh awalnya bosen banget, masak tiap hari jalan ke Pejaten village melulu, atau liat-liat Pasar Minggu. Kadang ujung-ujungnya ya ngenet aja di dekat Universitas Nasional. Tetapi alhamdulilah tak lama setelah Mas Ayis disana, sekolahnya membuka kelas Bahasa Arab buat ibu-ibu. Atas dorongan dari saya juga kayanya, hehe.

Sayangnya Mas Ayis hanya sekolah 3 bulan di sana, soalnya asisten saya yang membantu mengurus rumah dan menjaga Arrum tiba-tiba minta pulang. Cerita seru lainnya loh ini, hhhh gregetan. Tapi walau cuma 3 bulan kegiatan antar jemput ayis ini menyimpan cerita tersendiri. Namanya juga anak kecil, ada saatnya ga mood, pernah waktu itu dia males sekolah kayanya, bangunnya telat dan karena abinya juga dah telat akhirnya pergi aja tanpa kami, eh tau abinya pergi dia malah nangis kenceng pengen ikut, nangisnya bahkan blum berhenti sampai abi sampe kantor berarti hampir satu jam nangisnya kenceng gitu. Akhirnya dipaksain juga sekolah, dari rumah aja udah jam 8 pagi, sampe sekolah sekitar jam 10 an dan temen-temennya lagi pada istirahat. Hadeuhhhh. Nah perjalanan panjang menuju sekolah juga mungkin bikin dia capek secara fisik, mana pake angkot lagi, ga jarang bekal buat di sekolah malah abis di perjalanan. Belum lagi kalo jalanan macet, pernah waktu itu kabarnya ada sidang Abu Bakar Baasyir di Pengadilan Tinggi Jaksel dan demo oleh para pendukungnya, saya baru sampe sekolah jam 10 lebih, brarti 3 jam an di jalan doang. Udah nyampe Bandung mustinya ya. Pulangnya saya kadang suka belanja di Pasar Minggu, lumayan euy karena sudah siang Barang-barangnya kadang udah obral abis, seribuan bisa dapet sayur sekantong dengan kualitas yang cukup bagus loh, jadi kadang sepuluh ribu saya bisa dapet blanjaan sekantong gede, nah giliran ganti angkot di depoknya yang pusing. Bayangin bawa Mas Ayis yang minta gendong karena masih ngantuk ketiduran di angkot dan bawa belanjaan segambreng. Duuuh pegel booo'

Pertama nganter sekolah, saya kenalan dengan dua ibu lainnya. Pada ramah-ramah, dan ternyata pada ibu rumah tangga juga walaupun bawa mobil sendiri. Baru kenalan ternyata saya langsung diajak ke sebuah rumah tak jauh dari sekolah, kata seorang Ibu, " yuk Bu, kita maen ke butik, katanya ada barang impor yang baru masuk", duh denger kata impor kok saya udah ga enak ya, hihi. Ternyata beneran loh, saya diajak ke sebuah rumah cukup mewah, yang mendisplay baju, tas, dan sepatu merk terkenal, harganya? Duh, waktu itu rasanya saya ga sanggup beli deh. Sekarang? Teteup. Hehe. Kalo diliat, kayanya cuma Ayis yang dianter jemput naek angkot, saat sekolah bubar sekolah dipenuhi mobil mengkilap, ada loh seorang ibu yang paling klop sama saya, mungkin karena sama-sama naek angkot juga, ternyata eh ternyata suatu hari dia pamit ga bareng, yaaa dia nyetir mobil sendiri, hiks. Ahh gapapa naik fasilitas umum kan salah satu solusi mengurangi macet dan polusi Jakarta ya? Ngelesss.

Sekarang, Mas Ayis harus menjalani hidup baru dan memulai sekolah di kota kelahiran saya, Jambi. Sebelumnya sekali lagi suami menemukan sekolah yang dia sukai, tetapi karena jauh dari rumah akhirnya saya memutuskan mendaftar di sekolah lain. Pertimbangannya banyak, salah satunya karena kasihan Atok juga yang harus anter jemput jauh, sedangkan saya masih belum juga temenan ama motor atau mobil.

Seperti biasa, saya berusaha banyak komunikasi dengan guru dan kepala sekolah. Pernah suatu saat rapat mengenai kelulusan untuk Juni nanti, saya tiba-tiba diam ga banyak bicara karena ada yang kurang sreg pada rencananya. Kepala sekolah mungkin heran, karena biasanya saya termasuk banyak bicara, jadi berkali-kali dia menanyakan ke saya, " gimana ni, apakah ada yang kurang sreg, Umi?", kesannya saya suka protes apa ya? Hehe, ga kok padahal. Beneran.

Baru sejengkal perjalanan saya mengawal pendidikan bagi anak, rasanya akan ada jalan panjang di depan sana. Tapi rasanya orang tua pasti akan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anaknya kan? Semoga anak-anak kita bisa menikmati pendidikan terbaik. Insya Allah.

Menjadi Orang Tua (1)


Noraknya saat pertama menjadi Ibu

Berbekal segudang pengetahuan mengenai tumbuh kembang anak, saya mulai memasuki gerbang menjadi seorang ibu. Sempat menjadi pendidik kesehatan termasuk pendidikan ibu dan anak, dan terbiasa menyampaikannya kepada ibu-ibu lain, saya jadi makin pede menghadapi bayi saya nantinya. Tetapi teori tak selalu sejalan dengan praktek nyata.

Bayi pertama saya lahir dengan berat badan yang besar. Hampir empat kilogram. Saya harus rela menjalani persalinan caesar, setelah sebelumnya berjuang demi melahirkan secara spontan. Dari sini saja pupus sudah harapan saya ingin menjalani IMD ( Inisiasi Menyusui Dini), dimana teorinya sang bayi yang baru dilahirkan tanpa dibersihkan langsung diberikan ke pelukan ibunya dan dibiarkan meraih puting susu ibunya sendiri. Kabarnya proses ini bisa memakan waktu berjam-jam. Okelah, saya gagal IMD, toh saya masih bisa memberikan ASI ekslusif selama enam bulan kepada bayi saya, hanya ASI tanpa bantuan makanan atau minuman lainnya. Ternyata ini pun saya kecewa. Rumah sakit tanpa sepengetahuan saya memberikan bayi saya susu formula dari sponsor, alasannya karena bayi terlihat sangat kehausan, padahal teorinya bayi bahkan bisa bertahan tiga hari tanpa minum karena masih memiliki cadangan di tubuhnya. Bersyukur dengan penuh perjuangan, dengan sakit sisa operasi saya memaksakan diri ke kamar bayi setiap pagi demi memberikan ASI, anehnya sempat pula ditolak perawat karena saya datang terlalu pagi. Untungnya bayi saya tidak sempat terlalu mencintai dotnya, dan kembali menyukai makanan alaminya.

Dengan berat badan yang besar, bayi saya memang terlihat selalu kehausan, dan kabarnya bayi lelaki memang biasanya lebih " rakus" dibanding perempuan. Tak heran dalam sebulan kenaikan berat badannya hampir menyentuh angka dua kilogram. Entah karena bangga atau norak, kok sepertinya lama kelamaan saya terobsesi ya dengan masalah berat badan ini. Setiap habis menimbang bayi, saya selalu mengamati grafik pertumbuhannya, entah hitungan dari mana muncul di kepala saya, " jadi kalo sebulannya kira-kira BB naik rata-rata segini, berarti setahun bisa segini nih", pikir saya girang, sambil membayangkan montoknya ayis kalo setahun bisa mencapai berat 18 kg. Di bawah setahun,perkembangan Ayis memang termasuk cepat. Dua bulanan tengkurep, lima bulan duduk, enam bulan merangkak cepat, saya perkirakan dalam waktu tidak sampai setahun jangan-jangan dia sudah bisa lari.

Ternyata cukup sudah saya dilenakan dengan pertumbuhan yang cepat itu. Memasuki usia 6 bulan, dengan berbekal segala pengetahuan tentang MPASI saya mulai merancang makanan pendamping yang bergizi buat Ayis. Segala pure buah sampai bubur selalu saya usahakan buatan tangan saya sendiri. Menyenangkan ya? Tentu tidak! Tahap inilah saya harus menerima kenyataan bahwa bayi gendut ini tidak doyan makan! Semua makanan yang disodorkan berakhir dengan lepehan, atau bahkan sama sekali tidak bisa melewati bibirnya yang tertutup rapat. Saya stress! Berat badannya yang saat enam bulan itu sudah menyentuh angka 9 kg lebih, ternyata tidak kunjung naik signifikan selama bulan-bulan berikutnya. Anda ingat target saya saat Ayis setahun? Ya 18 kg, berapa berat badan ayis saat setahun? Tidak sampai menyentuh jarum 11 kg.

Perkembangan motoriknya juga tidak secepat saat masih di bawah 6 bulan. Akhirnya Ayis baru bisa berjalan saat berumur hampir 13 bulan.

Satu hal yang saya sadari dari perjalanan menjadi ibu sampai saat ini. Dulu jika dikenang lagi, saya termasuk ibu baru yang norak. Saya bangga punya bayi yang gemuk, bahkan suka membanding-bandingkannya dengan anak lain. Saya bangga perkembangannya cepat, terlihat lebih cepat dari yang lain. Tetapi saya segera disadarkan, bahwa tidak akan selamanya kita mengalami kondisi ideal. Sekarang sebagai seorang ibu, saya berusaha hati-hati mengomentari anak dari ibu lainnya. Saya tidak tahu perjuangannya. Cukuplah memberi komentar yang baik, tanpa membebani seorang ibu dengan komentar bernada nyinyir tentang anaknya, tentang pola asuhnya. Termasuk berhati-hati membanggakan anak-anak saya di depan ibu lainnya.

Anak saya bukan yang terlucu, terhebat, ataupun terbaik di dunia.Tetapi mereka anak teristimewa di hati saya.